Thursday, February 17, 2011

Kerana Wanita Itu Indah-Bahagian 2

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullah.

Di sini disertakan sambungan posting yang sebelumnya tentang dalil-dalil wajib menutup aurat serta perbahasannya secara ringkas. Semua artikel ini diambil secara terus daripada buku "Risalah Untuk Wanita Mukminah" karangan Syaikh Dr. Sa'id Ramadhan Al-Buti, seorang ulama besar Syria bermazhab Syafi'i yang masih hidup sekarang. Buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia. Semoga Allah memberkati beliau. Sila rujuk ulama' untuk penjelasan lanjut kerana aku sudah nyata terang lagi bersuluh bukanlah ulama'. Aku hanya ingin berkongsi dan menyampaikan dan tidak mengetahui lebih daripada ini. Dan aku tidak mahu dipertanggungjawabkan di hari akhirat kelak. 





Ketetapan para Ulama tentang Wajah Wanita

Para ulama berselisih jadi dua golongan dalam menetapkan hukum wajah itu sendiri.Golongan pertama, menafsirkan dandanan yang biasa terlihat dalam ayat tersebut dengan perhiasan busana, iaitu apa yang mungkin terlihat, misalnya seperti cincin dan sebagainya. Maka menurut mereka, wajah dan kedua telapak
tangan tetap termasuk anggota yang dilarang diperlihatkan, artinya wanita itu tidak dibenarkan membuk meskipun wajah dan kedua telapak tangannya di depan orang-orang yang dikecualikan Allah itu dari macam keluarga dan orang yang berlindung kepada mereka.

Alasan golongan ini, yang terdiri dari penganut madzhab Hanbali dan Asy-
Syafi’i, berdasarkan pada dalil-dalil berikut ini. 

Dalil pertama:

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”. (QS. Al-Ahzab: 53)

Ayat tersebut meskipun diturunkan untuk isteri-isteri Nabi, namun hukumnya tidak berlaku khusus bagi mereka, karena illatnya terdapat pada semua wanita juga. Perbedaannya adntara mereka dan kaum wanita lainnya dalam hal itu, gugur dari pertimbangan, atau dengan kata lain, hukumnya berlaku umum, meliputi semua hukum wanita melalui cara qias yang gamblang yang dinamakan pula dengan qias pertama.

Dalil kedua:

Apa yang diriwayatkan al-Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa Nabi s.a.w ada dibelakang al-Fadhal bin al-Abbas pada Yaumun Nahar (lebaran haji), pada waktu itu al-Khats amiyah sedang bertanya tentang sesuatu kepada Rasulullah, ternyata al-Fadhal memandanginya, lalu Rasulullah memegang dagu al-Fadhal dan memalingkan wajahnya dari perempuan itu. 
Lalu kata mereka, “Kalau wajah itu bukan aurat yang tidak boleh dilihat oleh seorang asing, tentulah Rasulullah tidak memalingkan wajah al-Fadhal dari wanita itu, sedang perempuan itu sendiri beralasan karena ia sedang menunaikan ihram dalam haji.

Dalil ketiga:

Apa yang diriwayatkan Muslim dan Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah dari kalian, jangan memasuki tempat wanita”, seorang Ansar bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan al-hamu?” Beliau menjawab, “Al-Hamu adalah kematian”. Al-Hamu ialah saudara laki-laki suami, atau ipar lelaki.

Kalau wanita itu secara keseluruhannya bagi orang asing bukan aurat, tentu Rasulullah tidak mengumumkan larangan masuk kepadanya bagi semuanya, karena larangan itu meliputi seluruh keadaan wanita itu, selama ia terlihat wajahnya seperti halnya kaum wanita di dalam rumahnya. Larangan itu meliputi juga saudara laki-laki suami, dilarang masuk menemui isteri saudaranya. Kalau sekiranya wajah itu bukan aurat, tentulah dikecualikan untuk memudahkan bagi para ipar lelaki menemui ipar perempuannya, selama wanita itu menutup seluruh tubuhnya minus wajah dan kedua telapak tangan.

Dalil keempat:

Apa yang dinyatakan Abdur Razaq dalam musnafnya dariUmmu Salamah katanya, “Ketika ayat hijab turun, maka wanita Ansar keluar serentak dengan jilbab mereka, sehingga kepala mereka seperti burung gagak, karena rapatnya menutup wajahnya dengan potongan bajunya. Kalau wajah mereka bukan aurat, tentulah perempuan itu tidak menutup wajahnya. Dalil kelima, apa yang dibawakan Muslim dan lain-lain dari Anas bin Malik bahawa Ummu Sulaim membuat semacam kuih dan dikirmkan kepada Nabi s.a.w, berkenaan dengan pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsy, kemudian beliau memanggil para shahabatnya, dan merekapun makan bersama-sama dan berbicara, sementara isterinya menghadapkan wajahnya ke tembok hingga mereka
pergi semua.

Hadits itu jelas sekali. Tidak bisa dikatakan, mungkin hal itu suatu hukum khusus bagi para isteri Nabi, karena perbedaan antara isteri Nabi dan kaum muslimah lainnya berkaitan dengan hijab itu, hanyalah perbezaan waktu saja. Hukum itu pada mulanya memang dikenakan kepada para isteri Nabi, kemudian diwajibkan kepada seluruh kaum muslimin.Sekiranya wajah isteri Nabi itu aurat bagi orang asing laki-laki, yang mereka itu adalah ummahatul mu’minin menurut padangan ulama, sudah tentu wajah wanita muslimah lainnya lebih dari itu.

Dalil keenam: 

Apa yang diriwayatkan ibnu Hisyam dari Ibnu Ishak, tentang sebab pertama pengusiran Yahudi Bani Qainuqa’ dari Madinah oleh Nabi s.a.w, bahawa seorang wanita Arab muslimah pergi berbelanja ke pasar perkampungan Bani Qainuqa’, kemudian ia duduk-duduk di depan toko tukang sepuh emas.Orang-orang Yahudi di dalam toko itu ingin membuka jilbab (kerudung) wanita itu supaya bisa melihat wajahnya, tetapi wanita itu menolak dengan keras. Akhirnya tukang sepuh emas itu mengikat ujung jilbab wanita itu pada sesuatu, ketika wanita itu berdiri, tertariklah jilbabnya ke belakang, sehingga terbukalah wajahnya. Lalu para laki-laki Yahudi itu tertawa beramai-ramai, sementara wanita itu berteriak-teriak, merasa kaget dan dipermalukan. Tiba-tiba seorang pemuda muslim yang ada disana melompat dan langsung membunuh tukang sepuh emas itu,… dan seterusnya.

Kalau jilbab yang diharuskan itu tidak meliputi juga seluruh wajah, apa yang mendorong wanita muslimah itu berkeras hati menutupi wajahnya? Kalau ia dipandang seorang wanita yang sangat taat pada agamanya, tentu orang-orang Yahudi itu tidak terdorong kedengkiannya untuk mempermalukan di depan
uymum dengan cara menghina seperti itu.

Hujah Golongan Kedua:

Mereka menafsirkan dandanan yang bisa terlihat “maa dhahara minha’ dalam ayat itu (QS. An-Nur: 31), dengan wajah dan kedua telapak tangan, karena keduanya dianggap hal-hal yang dzahir yang biasa terlihat, seperti yang terlihat pada waktu menunaikan shalat. Jadi dalam menentukan hukum, pertimbangan itu digunakan juga. Dalam hal ini mereka bertitik tolak dari hadits riwayat Bukhari dari Aisyah dalam bab apa yang dipakai seorang yang berihram,

“Wanita tidak dibenarkan menutup mulut dan hidungnya, menutup mukanya, jangan memakai baju terusan dengan tutup kepala dan jangan memakai za’faran”.

Larangan serupa terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Malik dalam al-Muwattha’ dari Nafi, bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata,“Wanita yang berihram tidak boleh memakai tutup muka dan sarung tangan”. Apa arti larangan perempuan tidak boleh menutup mulut dan hidung (burqu) dan menutup muka (niqab) pada waktu berihram, kalau pemakaiannya tidak umum dalam masyarakat. Tetapi penganut tafsir ini, yang terdiri dari pengikut Imam Malik, Abu Hanifah dan sebagian dari pengikut Imam Syafi’i menetapkan suatu syarat dalam membuka wajah, bahwa hal itu boleh dilakukan selama tidak mengobarkan fitnah, baik karena dandanannya atau karena cantiknya, dan bahwa ia tidak boleh menampakkan diri ditengah-tengah orang fasik, yang menurut dugaan tidak akan menundukkan pandangannya seperti yang diperintahkan Allah, malah mereka akan terdorong mengikuti hawa nafsu dan berahinya. 

Kalau kedua syarat itu tidak terpenuhi, sebaiknya ia menutupi wajahnya untuk menghindari fitnah, mengingat terjadinya hal yang pertama, dan demi menghindarkan kemungkaran yang diakibatkan oleh hal yang kedua. Sesungguhnya menyingkirkan kemungkaran dalam situasi seperti ini, dengan mencegah orang fasik melihat kepadanya, atau melarang ia keluar dari rumah menemui semacam itu, atau dengan cara menutup wajahnya dihadapan mereka, masih lebih mudah melakukan yang terakhir diantara ketiganya itu.

Atas dasar itulah, maka semua hadits shahih yang menganjurkan wanita muslimah menutup wajahnya, yang dipergunakan oleh golongan pertama sebagai dalilnya, menunjukkan adanya keadaan takut dari fitnah, atau menandakan keinginan menjaga diri dan ketaqwaan. Jelasnya, sebagian besar isteri para shahabat dan tabiin itu, karena dorongan ingin menjaga diri dalam melaksanakan perintah Allah lalu mereka menutup wajahnya.

No comments:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...